Aktifis dan Ratusan Mahasiswa Deklarasi Tolak RUU Kejaksaan, Terkait adanya Pasal Yang Aneh dan Terkesan Ambigu 

masbam990
Img 20250223 Wa0022

Hotel Pelangi Dua, jln. Simpang Gajayana  Malang. Tempat forum deklarasi dilaksanakan (Dok fhoto : Istimewa)

MALANGKoran–memo.com – penolakan terhadap Rancangan Undang Undang Kejaksaan (RUU KEJAKSAAN) kembali menjadi gelombang pergerakan para kaum akademisi dan para aktifis hukum di kota Malang, (22/02/2025) dan mahasiswa yang tergabung dalam Pemuda Mahasiswa Jawa Timur mengadakan diskusi dan deklarasi penolakan terhadap adanya RUU KEJAKSAAN. Adapun Pemrakarsa dari forum diskusi adalah Himpunan Mahasiswa Indonesia(HMI) yang penyelenggaraanya ditempatkan di kota Malang, Hotel Pelangi Dua. Jln. Simpang Gajayana.

Beberapa pakar hukum dan kaum akademisi yang menjadi Nara sumber hadir diantaranya adalah Dr.H.Supriyadi S.H. MH, Ketua Program Study Ilmu Hukum Pasca sarjana Universitas Merdeka (UNMER)Malang. Firdaus Advokat dan Praktisi Hukum serta Syarif Hidayatullah sebagai aktivis Hukum.

Menyikapi adanya tumpang tindih kewenangan dalam sistem peradilan di Indonesia, dianggap ambigu tentulah akan mempunyai dampak negatif dalam proses penegakkan hukum ( Law Enforcement) dalam beberapa pasal yang diajukan menjadi RUU KEJAKSAAN, hal tersebut menjadi pokok bahasan para peserta forum diskusi.

Img 20250223 Wa0023
para kaum akademisi dan para aktifis hukum di kota Malang dan mahasiswa yang tergabung dalam Pemuda Mahasiswa Jawa Timur

Salah satu yang mendapatkan kritikan tajam dalam diskusi adalah adanya pasal ketentuan di RUU KEJAKSAAN yang mengharuskan adanya ijin dari Kejaksaan Agung sebelum adanya pemeriksaan jaksa diduga terlibat tindak pidana. Kritikan itu di lontarkan oleh salah satu praktisi hukum dan advokat, Firdaus. Menurutnya, dikuatirkan kelak akan terjadi adanya penyalah gunaan kekuasaan dan berpotensi menimbulkan intervensi antar lembaga negara dalam penegakkan hukum di Indonesia. Pasal yang menjadi sorotan adalah di pasal 28 pemberian kewenangan penyidikan kepada kejaksaan yang akan menjadikan masalah serius, karena penyidikan seharusnya menjadi ranah atau kewenangan Institusi Polri. Kembali Firdaus menegaskan,” Adanya dua instansi memiliki kewenangan yang sama dalam penyidikan justru akan menyulitkan dalam penyelesaian perkara.

Idealnya dalam negara hukum dan demokrasi, setiap warga negara dan lembaga harus diperlakukan setara, siapapun jika terlibat dalam tindak pidana seharusnya diproses secara hukum. Namun anehnya, dalam RUU KEJAKSAAN, satu perkara yang dalam penanganan polisi bisa dihentikan oleh kejaksaan, itu tentunya akan menimbulkan ketidak pastian hukum,” ujarnya. Ide penambahan kewenangan kejaksaan dalam RUU kejaksaan seharusnya mempertimbangkan dengan lebih matang, dan perlu lebih banyak melakukan refleksi dan evaluasi terhadap beberapa kasus yang heboh di masyarakat. Dimungkinkan bila aturan itu terjadi, akan memperburuk sistem hukum yang ada, dikarenakan saling tumpang tindihnya kewenangan. Lebih baik Institusi Kejaksaan bukannya memperlebar kewenangan, akan tetapi lebih memperkuat dalam pengawasan, adanya perbaikan yang lebih subtansial sebagai solusi menuju kejaksaan yang lebih profesional kedepannya. Bila diperlukan, penting juga adanya memasukan Komisi Pengawasan Kejaksaan

Beberapa pasal yang ada dalam RUU ini tidak mencerminkan prinsip prinsip dasar yang justru menciptakan ketidak proporsionalan dalam kewenangan lembaga negara yang seharusnya prinsip dalam perumusan undang undang itu menjamin adanya kepastian hukum, berkeadilan dan menjadi manfaat bagi masyarakat.

“Perubahan dalam sistem hukum harus berlandaskan pada efektivitas dan lebih mengutamakan kepastian hukum, jika sistem ini tetap dipaksakan, justru akan semakin menambah ketidakpastian hukum dalam penegakannya. Menurut Dr.H.Supriyadi SH. MH menekankan dalam sesi lanjutannya sebagai Nara sumber.

Syarif Hidayatullah, mengatakan lebih tegas,” Kami menolak karena ini bukan sekedar masalah regulasi, akan tetapi berkaitan dengan adanya kepastian hukum bagi masyarakat, tumpang tindihnya sistem tentunya akan merugikan rakyat. Adanya beberapa pendapat,bahwa, rancangan ini sangat riskan karena bisa mengalihkan tanggung jawab dan makin mempersulit atau memperumit sistem peradilan di Indonesia. Dengan adanya kritik dan masukan dari para Nara sumber yang hadir serta dari berbagai pihak, sangat mengharapkan sistem hukum di Indonesia dapat dilaksanakan lebih transparan, adil dan bisa dipertanggung jawabkan. Juga berharap kepada pemerintah dan lembaga legislatif untuk mempertimbangkan kembali rancangan undang undang tersebut sebelum disahkan.

Deklarasi dari para aktivis, praktisi hukum dan mahasiswa di Jawa Timur tentunya menjadi bentuk perlawanan dari para akademik, praktisi dan para pengamat hukum yang hadir sa’at itu bersama sama menyatakan sikap menolak dan mengkaji ulang RUU KEJAKSAAN yang diikuti oleh seluruh peserta yang hadir yang dilakukan di akhir diskusi.(BAW korwil Jatim/ red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *